Nissa Wargadipura saat berada di Roma untuk acara FAO Global Family Farming Forum. (Instagram/@nissa_wargadipura)
Nissa Wargadipura saat berada di Roma untuk acara FAO Global Family Farming Forum. (Instagram/@nissa_wargadipura)
KOMENTAR

NAMA Nissa Wargadipura, pengelola Pesantren Ath-Thaariq Garut, menjadi salah satu dari 26 tokoh dunia yang menerima anugerah bergengsi FAO Heroes dari Food & Agriculture Organization (FAO) alias Badan PBB Urusan Pangan Dunia. Penghargaan diterima Nissa dalam acara Food Hero’s FAO Global Family Farming Forum yang digelar di Roma, Italia pada Rabu (16/10).

Dalam acara Food Hero’s FAO Global Family Farming Forum tersebut, Dirjen FAO Qu Dongyu menegaskan bahwa pangan adalah hak asasi manusia. Semua orang berhak berkecukupan pangan. Data FAO menunjukkan lebih kurang 730 juta orang di dunia bergulat dengan kelaparan dan lebih dari 2,8 miliar orang di dunia tidak dapat memiliki akses ke makanan sehat.

Qu Dongyu mendesak semua pemangku kepentingan untuk segera membangun sistem pertanian pangan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat global.

Di hadapan audiens forum, Nissa diperkenalkan sebagai ”penggagas sekolah petani muda”. Ia membimbing para petani muda untuk memiliki keahlian pertanian berkelanjutan tanpa melupakan nilai-nilai kearifan lokal.

Diketahui bahwa Nissa sudah aktif melakukan family farming sejak tahun 2008. Ia mengajarkan para santri bermacam teknik pertanian yang fokus pada pangan bernilai gizi tinggi dan menjadi model perkebunan keluarga berkelanjutan. Family farming alias perkebunan keluarga ini berbasis biodiversity (keanekaragaman) dan tidak menggunakan pupuk kimia. Nissa menyebutnya sebagai ”gerakan agro-ekologi”, di mana aktivitas family farming yang dijalankan para petani kecil justru mampu bertumbuh menjadi sebuah gerakan besar.

”Lihat bagaimana mereka yang memastikan akses kepada pangan, bahkan yang menyelamatkan pangan dunia, bukan perusahan multinasional, melainkan rakyat,” kata Nissa, dikutip dari VOA.

Family farming yang digaungkan Nissa dan para Pahlawan Pangan lainnya mendorong pelestarian produk makanan berbasis SDA berkelanjutan sekaligus memastikan keanekaragaman hayati dunia selalu lestari. Dan semua bisa dimulai dari halaman rumah.

Family Farming, Kearifan Lokal, dan Kesadaran Generasi Muda

Lahir dari keluarga petani yang mengolah lahan pertanian dan perkebunan di kaki Gunung Papandayan, Garut, Nissa telah membuktikan kearifan lokal menjadi salah satu benteng penjaga ketersediaan pangan.

Dalam konteks kearifan lokal, Nissa mencontohkan masyarakat Sunda yang mengenal sawah sebagai gudang makanan paling variatif, mudah diakses, murah, dan aman.

Di sawah tidak hanya ada padi, tapi juga eceng sawah, keong mas, tutut, genol (ikan kecil), juga jamur yang tumbuh di pinggir pematang. Ada pula jerami pascapanen dijadikan pakan ternak bebek, daun-daun kering ditanam dalam tanah menjadi kompos. Semua itu jika dikelola dengan baik, maka circular economy yang dikelola sekolah ekologi ini menjadi tak terputus.

Hebatnya, Nissa tidak hanya berjasa dalam mengembangkan family farming di pesantren Ath-Thaariq dan lingkungan sekitarnya. Nama Nissa Wargadipura sebenarnya sudah dikenal luas di Garut sejak masih berstatus mahasiswa, tepatnya ketika ia melindungi hak-hak petani lokal dan menentang kebijakan pembebasan lahan pada tahun 1989. Hasilnya, pada tahun 1997 sekitar 700 petani berhasil mendapatkan lahan mereka kembali.

Tidak berhenti sampai di situ, Nissa melanjutkan perjuangannya untuk pemberdayaan petani dengan menggagas Serikat Petani Pasudan. Saat ini, salah satu organisasi petani yang paling berpengaruh di Jawa Barat itu sudah mempunyai lebih dari 100.000 anggota. Para petani berusaha untuk bisa lepas dari jeratan tengkulak.

Didirikan pada tahun 2008, Pesantren Ath-Thaariq (bahasa Arab, artinya ”jalan”)  tidak hanya mendidik santri soal agama, pendidikan tradisional dan formal, tetapi juga agroekologi, ketahanan pangan, dan pengolahan hasil panen bernilai gizi tinggi. Termasuk mendorong peran aktif perempuan dalam komunitas pertanian. Tak pelak Ath-Thaariq disebut sebagai Pesantren Ekologi Indonesia.

Di lahan seluas satu hektar, Nissa merancang sistem tanam tumpang sari. Beragam tanaman dibudidayakan secara bersama-sama di lahan yang sama. Tanaman kemudian dibagi berdasarkan zona, mulai dari buah-buahan tropis, makanan pokok, rempah-rempah, hingga kolam ikan.

Salah satu jalan menuju kesuksesan berkelanjutan dari family farming adalah regenerasi petani yang berjalan mulus. Menurut Nissa, ia melihat banyak anak muda yang sangat tertarik pada family farming karena bisa menyediakan makanan beragam yang bergizi dan mudah didapat. Ia mengapresiasi anak muda yang menjalani pola hidup sehat, termasuk makanan sehat, hingga mereka memiliki kesadaran tinggi tentang you are what you eat.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women